Otonari no Tenshi-sama ni Itsu no Ma ni ka Dame Ningen ni Sareteita Ken / The Angel Next Door Spoils Me Rotten Volume 8.5 Chapter 8 Bahasa Indonesia

 Chapter 8 - Dua Orang Dilihat dari Sisi Lain


[PoV: Amane]

 

"Amane-kun, mau pergi belanja nggak?"

 

Di suatu hari libur setelah Mahiru dan Amane sudah pacaran cukup lama.

 

Saat Amane menyambut kedatangan Mahiru ke rumahnya yang sudah menjadi rutinitas dengan kata "Selamat datang", Mahiru langsung mengajukan ide itu tanpa banyak basa-basi.

 

Karena dia mengatakannya saat mereka sedang dalam perjalanan ke ruang tamu, Amane merasa bahwa Mahiru pasti sangat ingin pergi.

 

Mahiru pada dasarnya adalah orang yang tidak terlalu menuntut. Dia jarang bicara tentang apa yang dia inginkan atau tempat-tempat yang ingin dia kunjungi. Jika pun ada permintaan, biasanya diawali dengan "Jika Amane-kun tidak keberatan...".

 

Tapi kali ini, karena Mahiru mengajaknya dengan jelas, mungkin ada tujuan tertentu yang dia inginkan untuk ditempuh bersama Amane.

 

"Oke deh, hari ini aku juga nggak ada rencana."

 

Setelah mereka berdua duduk di sofa dan Amane menyetujui ajakan tersebut, ekspresi wajah Mahiru menjadi lebih cerah. Melihat itu membuat orang yang setuju (Amane) hampir tak bisa menahan tawa.

 

"Ada barang apa aja yang kamu pengen?"

 

"Iya nih, banyak hal."

 

"Hmm, sepertinya aku jadi babu untuk bawa barang-barangnya."

 

Mungkin saja alasan utamanya adalah karena dia senang bisa jalan-jalan bareng Amane. Tapi mungkin juga dia membutuhkan bantuan untuk membawa tas belanjaannya. Setidaknya itulah pikiran Amane saat ini.

 

Belakangan ini otot-otot di tubuh Amane sudah cukup kuat jadi seharusnya ia bisa membantu membawa beberapa barang berat dengan mudah. Saat ia melihat Mahiru sambil penuh semangat memikirkan hal tersebut, mata gadis itu tampak terkejut.

 

"Lho kok bisa gitu ya... Yang aku mau itu jalan-jalan sama kamu, bukan minta tolong kamu bawain barang belanjaanku lho? Kamu paham kan?"

 

Meski sebenarnya itu hanya candaan semata tapi tampaknya Mahiru takut kalau-kalau dikira serius oleh Amane sehingga ia menjelaskan ulang maksudnya sambil tersenyum manis. Tekanan dari penjelasannya membuat Amane hanya bisa mengiyakan sambil angguk-angguk saja.

 

"Sumpah deh... Aku cuma pengen milih barang bareng kamu aja kok? Bukan maksudku buat manfaatin kamu sebagai tukang angkut lho? Kamu ngerti kan?"

 

"Maaf-maaf... Salahku juga sih gak ngerti selera cewek."

 

"Oke deh."

 

Mahiru tampaknya sedikit kesal atau mungkin merajuk dan melakukan sesuatu yang belakangan ini sering dia lakukan yaitu memukul-mukul tubuh Amane dengan lembut. Amane hanya bisa tersenyum sendiri melihat tingkah Mahiru yang lucu itu.

 

Setelah beberapa saat, Mahiru tampak sudah tenang lagi dan pukulan-pukulannya pun berubah menjadi tepukan-tepukan lembut. Melihat itu, Amane pun mulai mengajukan pertanyaan tentang apa yang ingin dibeli oleh Mahiru.

 

"Apa yang mau kamu beli?"

 

Namun entah kenapa, ketika ditanya hal tersebut, Mahiru tampak ragu-ragu.

 

"Mahiru?"

 

Mahiru yang tadi penuh semangat mau pergi belanja, tiba-tiba jadi diam begitu ditanya apa yang mau dibeli.

 

Amane bingung karena Mahiru langsung berubah suasana hatinya. Tapi dari tatapan matanya, Amane bisa merasakan ada sesuatu.

 

"... Kamu nggak bakal mundur atau marah kan?"

 

Beneran dah, apa sih yang mau dia beli?

 

"Kamu kan tau aku jarang marah."

 

"Terus kamu nggak bakal mundur?"

 

"Ya enggak lah. Tapi sebelum kita mulai, cerita dulu lah."

 

Mahiru itu orangnya bijaksana dan punya rasa hormat yang tinggi. Jadi Amane gak bisa bayangin dia mau beli sesuatu yang bisa bikin Amane gak nyaman.

 

Lagian kalau memang aneh-aneh, pasti dia gak akan ajakin Amane buat belanja bareng.

 

Tapi kenapa dia ragu-ragu gitu ya? Pasti ada sesuatu yang bikin dia gak enakan.

 

Meski Amane udah mikir keras tentang barang apa sih yang mungkin bikin Mahiru malu tapi bukan barang aneh-aneh dan bisa bikin Amane kesel atau mundur, tapi tetep aja gak nemu jawabannya.

 

Setelah mikir-mikir lagi, akhirnya Amane kepikiran mungkin saja Mahiru mau belanja lingerie atau baju dalam gitulah.

 

Tapi kalau emang itu alasannya, pasti Mahiru malunya minta ampun sih untuk ngajakin Amane. Lagian mereka belum sampai ke tahap hubungan fisik kok jadi agak susah membayangkan Mahiru dengan berani bilang ingin memilih lingerie bersama-sama dengannya.

 

Jadinya... barang apa sih sebenarnya yang ingin dibeli oleh Mahiru? Sampai detik ini juga Amane masih bingung!

 

"... Ehmm... Jadi begini ya... Akhir-akhir ini aku sering banget kan main ke rumahmu?"

 

Akhirnya suara lembut dari Mahiru terdengar dan sedikit mengurai kerutan di kening Amane.

 

"Iya betul. Kecuali saat mandi dan tidur, kamu hampir selalu di sini."

 

"Soalnya kita udah pacaran kan..."

 

"Iya"

 

"Nah makanya... Aku pengen nambahin barang-barang pribadiku di rumahmu boleh nggak?"

 

"Hmm.. boleh"

 

Jadi maksudnya adalah dia ingin meningkatkan jumlah barang-barang pribadinya di rumah Amane dan karena itu adalah rumah milik Amane maka tentunya ia harus memperhatikan desain dari barang-barang tersebut juga - itulah maksud dari permintaan Mahiru tadi.

 

Permintaan tersebut sangat lucu dan membuat Amane merasa sedikit malu dengan pikiran-pikirannya yang tadi sempat berkelana ke arah yang tidak-tidak.

 

Dia memutuskan untuk tidak menunjukkan rasa malunya itu dan menerima permintaan Mahiru dengan senang hati dan tanpa ragu-ragu. Melihat reaksi Amane, mata Mahiru terbuka lebar karena kaget.

 

"... Kamu langsung setuju aja ya."

 

"Ya iyalah, kamu kan sering banget di sini. Jadi wajar kalau barang-barangmu juga ikutan nambah."

 

Lagian sebenarnya barang-barang pribadi Mahiru sudah ada beberapa di rumahnya. Seperti perlengkapan perawatan rambut, beberapa buku referensi dan alat tulis, buku resep, dan lain-lain yang merupakan kebutuhan minimal bagi Mahiru.

 

Amane gak merasa terganggu sama sekali dengan adanya barang-barang tersebut. Lagipula rumah Amane cukup luas untuk orang yang tinggal sendirian. Orang tuanya memilih rumah ini karena alasan keamanan, kemudahan akses, dan lokasi yang strategis - meski Amane sendiri merasa itu berlebihan. Tapi sejak dia mulai menghabiskan waktu bersama Mahiru di rumah ini, dia merasa sangat bersyukur memiliki rumah sebesar ini.

 

Amane merasa gak masalah kalau barang-barang Mahiru makin banyak. Dia tepuk-tepuk kepala Mahiru, berusaha memberi semangat.

 

"Ada apa?"

 

"... Boleh tidak sih kalau kita beli barang yang sama?"

 

"Yang sama?"

 

Mahiru tampak malu-malu saat menjelaskan maksudnya.

 

"Sekarang ini kan peralatan makan kita campur-campur antara yang dari rumahku dan rumahmu."

 

"Iya betul."

 

Amane memang cuma punya peralatan makan seadanya. Soalnya dia tinggal sendiri dan juga gak terlalu bisa masak jadi ya gitu.

 

Dia masih pakai piring murah yang dibawa dari rumah, kadang-kadang pecah karena Amane sering ceroboh. Makanya jumlahnya udah berkurang.

 

Setelah Mahiru datang, mereka jadi pakai peralatan makan Mahiru juga. Walaupun mereka usaha pilih yang warnanya mirip, tapi tetep aja kalo ditaro di meja makan gak ada keserasian.

 

"Nah, aku pengen kita pakai yang sama gitu."

 

"... Oke"

 

"Tapi kalau nanti malah mengganggu gimana ya..."

 

"Gpp kok, yuk belanja lagi. Peralatan makan di sini emang cuma seadanya sih, jadi mau nambah juga masih banyak tempat kosong."

 

Gimana caranya Amane bisa nolak permintaan Mahiru untuk punya barang-barang seragam?

 

"Lagian soal ini kan kamu lebih tau daripada aku. Kamu lebih sering di dapur dan udah lihat sendiri aku sering pecahkan piring? Justru aku pengen tambahan peralatan makannya."

 

Pastinya Mahiru lebih ngerti tentang dapur daripada Amane sebagai tuan rumah termasuk soal jumlah piring dan tempat penyimpanannya.

 

Mahiru ragu-ragu bukan karena dia gak yakin mau belanja lagi atau enggak tapi karena dia bingung apakah boleh melakukan itu dengan uang siapa?

 

Soal pertama udah clear dari Amane. Untuk soal kedua sebenarnya Amane masih punya cukup banyak uang tabungan dari waktu dia pindahan ke sini.

 

Dia emang orangnya kurangan hobi belanja dan kebanyakan barang-barangan di rumah ini adalah bawaan dari rumah lama atau sudah disiapkan orangtuanya jadi ya jarang banget belanja besar-besaran.

 

Lagi pula berkat Mahiru, biaya makan bisa ditekan dan karakteristik Amane yang cenderung hemat membuat dia jarang boros dalam pengeluaran sehari-hari.

 

Jadi meski harus belanja lagi untuk beberapa hal, kondisi keuangan Amane masih aman-aman aja.

 

Dia sangat berterima kasih pada orang tuanya yang sudah mengizinkan dia tinggal sendiri dan menjamin kehidupannya.

 

Meski dia gak berencana ngomong, tapi kalau sampai terlanjur bicara pasti orangtuanya juga gak akan marah. Malah bisa jadi mereka malah bilang "Persiapan hidup baru itu penting" dan langsung transfer uang lebih.

 

"... Aku gak mau maksa kok."

 

"Peralatan makan yang seragam kan bikin suasana makan bareng jadi lebih enak ya?"

 

"... Iya."

 

Melihat Mahiru yang tampak ragu-ragu, Amane memeluknya dan mengusap-usap punggungnya untuk menenangkan. Mahiru pun tampak senang dan mengangguk kecil sambil bersandar di pelukan Amane.

 

Langsung aja Amane dan Mahiru ke mall. Mahiru bilang ada toko peralatan makan favoritnya di sana, jadi Amane cuma ikutin aja.

 

Amane jarang banget ke tempat rame-rame seperti mall, jadi dia merasa terbantu sama Mahiru yang udah hafal banget sama tempat ini. Dia menikmati petunjuk dari Mahiru yang tampak bersemangat dan langkahnya lebih cepat dari biasanya.

 

Setelah berjalan sebentar, mereka sampai di sebuah toko yang sepertinya menjual peralatan makan ala-ala Eropa Utara.

 

Dari sekilas lihat aja udah keliatan kalau tokonya elegan dan musik yang diputar juga enak didengar.

 

Peralatan makan yang dipajang punya desain simpel tapi tetap cantik. Amane merasa desainnya cocok banget buat Mahiru.

 

"Toko ini harganya gak mahal-mahal banget, tapi desain dan durabilitasnya oke loh. Di rumah aku juga pakai barang dari sini."

 

"Jadi makanya kamu langsung ajak kesini ya? Kamu pengen share barang-barang favoritmu?"

 

"A-Apa gak apa-apa? Kalau ternyata gak cocok sama selera kamu kita bisa cari toko lain kok."

 

"Ngapain kamu merasa bersalah padahal aku gak nyalahin kamu sih. Aku cuma seneng aja tau barang-barang favoritmu."

 

Soal peralatan makan Amane sendiri gak punya preferensi khusus, jadi dia seneng kalau Mahiru bisa tunjukin barang-barang yang dia suka.

 

Kalau mau pakai barang yang sama-sama pastinya harus pilih yang cocok buat dua-duanya dong.

 

Ortu Amane pernah bilang bahwa kunci hubungan harmonis adalah saling mengalah di hal-hal yang bisa dikompromikan. Jadi bagi Amane wajar aja kalau orang yang punya preferensi lebih kuat diberi prioritas.

 

"Kamu pasti seneng kan kalau bisa pakai barang-barang favoritmu? Sama seperti aku juga seneng lihat kamu suka dengan hal-hal favoritku kan?"

 

"Tentu saja aku seneng."

 

"Nah gitu dong."

 

Kalau mereka punya selera berbeda nanti bakalan ribet. Jadi Amane bersyukur karena Mahiru adalah orang yang bisa menikmati kebahagiaan orang lain seperti dirinya sendiri.

 

Karena mereka berdua seneng, rasanya kebahagiaannya jadi dua kali lipat! Sambil mengingat betapa hebatnya ortunya karena prinsip hidup ini, Amane memegangi tangan Mahiru dengan erat saat masuk toko.

 

Peralatan makan yang rapi di rak-rak toko ini semuanya bagus-bagus.

 

Biasanya Amane gak suka peralatan makan yang gambarnya bunga-bunga gitu, tapi di sini desainnya lebih ke pola bunga jadi dia gak keberatan.

 

"Sebisa mungkin kita beli ukuran yang sering kita pakai ya. Aku suka tergoda beli karena desainnya bagus, tapi kalau bentuk atau ukurannya gak nyaman malah bakalan cuma jadi pajangan..."

 

Mahiru berbisik sambil memilih peralatan makan.

 

"Aku ngerti banget kok."

 

Ini mirip sama masalah belanja baju.

 

Kadang-kadang kita beli sesuatu karena suka desainnya, tapi ternyata nggak cocok sama musim atau susah dipadukan sama baju lain. Akhirnya cuma jadi pajangan lemari aja deh.

 

(Yah, emang sih aku jarang keluar rumah juga...)

 

Lagian Amane bukan tipe orang yang suka bergaya dan dia gak punya niat buat pamerin dirinya ke orang lain. Jadi kadang-kadang dia merasa menyesal setelah belanja karena merasa sia-sia aja gitu deh.

 

Piring kali ini juga seperti gitu.

 

Meski desainnya sesuai selera, kalau gak nyaman dipakai ya jadinya gak ada gunanya. Misalnya ukuran atau bentuknya bikin susah pas mau ngambil makanan, ujung-ujungnya malah bakal terbengkalai di pojokan rak.

 

"Kita berdua kan bakal pakai satu per satu, jadi harus mempertimbangkan ukuran meja makan kita juga."

 

"Meja makannya juga gak besar-besar banget sih."

 

Masalah lain adalah tempat penyimpanannya.

 

Sebenarnya meja makan Amane ini cuma buat satu atau dua orang. Dia beli yang kecil karena pikir gak akan ada tamu dan cukup buat dia sendiri. Tapi sekarang keputusan itu malah jadi bumerang.

 

"Sekarang aku mikir lagi, seharusnya beli yang lebih besar ya. Tapi waktu itu aku masih sendirian."

 

"Yaudah nanti aja kita beli yang lebih besar kalau memang udah butuh. Untuk sekarang ini masih cukup kok."

 

"Iya deh."

 

Kalau nanti merasa kurang, bisa dipertimbangkan lagi untuk belanja lagi. Sambil menaruh ide itu di sudut pikiran, Amane mengikuti Mahiru bergerak antar rak barang.

 

Mahiru sering berhenti dan memeriksa barang-barang dengan seksama karena toko ini sesuai selera dia, jadi agak lama mereka belum menentukan pilihan.

 

"Hmm semua bagus-bagus sih jadi bingung mau pilih yang mana."

 

"Asalkan kamu seneng aja udah cukup kok."

 

"Dari awal keluar rumah bareng kamu aja udah bikin aku seneng loh. Aku sampe pengen ambil semua barang di sini!"

 

"Biasanya kamu hemat banget sih jadi boleh lah sekali-kali boros dikit."

 

"Gak boleh! Nanti lupa tujuan awal kita dateng sini dong! Kamu harus jagain aku biar gak boros!"

 

"Baiklah!"

 

Meski Amane yakin Mahiru bisa kontrol diri sendiri tapi dia tetap mengiyakan permintaannya.

 

Mahiru tampak semakin ceria dan mulai membandingkan piring-piring dengan antusias. Amane sebagai pacarnya merasa bahagia melihat tingkah lucunya dan tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya.

 

Mungkin seharusnya dia memberikan pendapat sendiri tapi dia tidak ingin merusak suasana bahagia Mahiru saat ini.

 

Mahiru tampak sangat senang ketika ia mengambil sebuah piring dengan motif bunga kecil dan tanaman merambat di pinggirannya dari keranjang belanjaan mereka dan berkata "Ini cocok buat rumah kita".

 

"... Mahiru, kamu juga pilih-pilih peralatan makan di rumahmu sendiri?"

 

"Iya, aku memang suka memilih barang-barang favoritku. Aku merasa lebih senang makan dari piring yang bagus dan sesuai selera."

 

"Aku ngerti sih. Rasanya lebih semangat dan makanannya terasa lebih enak."

 

Meski Amane pada dasarnya tidak peduli, dia merasa bahwa makanan tampak lebih lezat dan menambah nafsu makan jika penampilannya menarik.

 

"Kalau cuma mau makan aja sih bisa aja langsung dari panci atau wajan terus pakai piring kertas biar gak perlu cuci banyak-banyak. Tapi kalau gitu jadinya gak ada suasana ya."

 

"Emang sih lebih praktis tapi rasanya kurang seru ya."

 

"Rasa adalah hal yang paling penting tapi penampilan juga penting loh. Sama seperti orang, kesan pertama biasanya datang dari penampilan."

 

"Ngga nyangka Mahiru ngomong gitu."

 

Amane pikir Mahiru yang sering dinilai dari penampilan luar ngga akan bilang begitu, tapi dia malah menggelengkan kepala sambil tersenyum getir.

 

"Seperti masakan aja, kalau disajikan sembarangan rasanya jadi kurang menarik kan? Padahal kalau nggak dicoba, kita nggak bakal tau rasanya."

 

"Iya sih itu benar."

 

"Sama aja sama manusia. Kalau kesan pertama bagus, kita jadi lebih tertarik buat kenalan dan tau lebih dalam tentang orang itu. Tapi di kasus ini, penampilan lebih ke soal kebersihan daripada cantik atau imut. Orang yang gak peduli penampilannya biasanya bikin kita males deketin."

 

"Eh..."

 

"Kenapa kamu merasa terpukul?"

 

"Gak lah, cuma inget dulu aku gak peduli penampilan."

 

Sebelum Amane mulai berusaha biar bisa jalan bareng Mahiru, dia emang gak peduli sama penampilannya.

 

Dia cukup asalkan bersih aja. Dia setrika bajunya asal-asalan dan rambutnya panjang sampai bikin aura dia keliatan suram. Meski bukan berarti dia kotor atau apa, tapi sekarang dia nyesel karena dulu penampilannya gak ada segarnya sama sekali.

 

"Dalam hal Amane sih aku nggak merasa kamu kotor atau apa. Cuma aura kamu emang agak gelap dan kamarnya berantakan banget sih."

 

"Eh iya ya waktu itu makasih ya udah ngebantu bersih-bersih."

 

"Hehehe sekarang kamu udah bisa bersih-bersih sendiri kan? Bagus deh!"

 

"Aku juga harus bisa mandiri lah!"

 

"Pantas dipuji!"

 

Mahiru coba mengacak rambut Amane tapi dia menahan tangan Mahiru dan bilang "Kita lagi di luar." Muka Mahiru langsung memerah karena malu.

 

Amane juga sebenarnya pengen digerayangi di luar tapi dia lega berhasil mencegahnya tepat waktu. Meski ada sedikit rasa kecewa.

 

"Pokoknya..."

 

Mahiru tampak malu karena hampir melupakan mereka sedang di tempat umum dan melanjutkan dengan suara yang agak naik oktaf.

 

"Makan di piring cantik bikin suasana makan jadi lebih menyenangkan dan suasana hati juga menjadi lebih baik. Tapi tentunya selera Amane juga harus dipertimbangkan."

 

"Aku sih biasanya gampangan dalam hal ini ya... Seperti yang sudah aku katakan tadi, aku mau piring dengan desain favoritmu. Aku percaya selera estetikmu dan aku juga ingin menyukai apa yang kamu suka."

 

"... Tolong jangan tiba-tiba merayu aku seperti itu."

 

"Aku nggak merayu kok."

 

"Huh!"

 

Amane bingung kenapa Mahiru menuduhnya merayu, karena dia sama sekali tidak berniat seperti itu.

 

Mahiru tampak agak kesal tapi tetap lucu. Dia mengomel "Amane-kun baka" sambil mengeluarkan dua piring yang tampaknya sudah dipilih sebelumnya dari keranjang belanja mereka.

 

"Mana yang lebih kamu suka antara ini dan ini?"

 

Yang ditunjuk adalah piring dengan motif geometris biru dan kuning di latar belakang putih, dan piring dengan latar belakang hijau mint cantik dengan gambar tumbuhan putih.

 

Keduanya bukan jenis yang mewah tapi cukup indah untuk dijadikan hiasan interior.

 

"Kalau menurutku sih, aku lebih suka yang ini. Kamu gimana, Mahiru?"

 

"Jadi kita beli yang ini aja ya?"

 

Mahiru langsung menerima pendapat Amane dan memasukkan dua piring pilihan Amane ke keranjang belanja mereka. Amane jadi agak khawatir karena merasa Mahiru terlalu mengalah.

 

"Tidak usah sungkan, Mahiru. Pilih yang kamu suka aja."

 

"Kenapa kamu malah jadi khawatir... Seperti yang sudah aku bilang tadi, aku mau memilih bersama denganmu. Kedua piring itu sama-sama aku suka, jadi kalau bisa masukkan juga pendapatmu, rasanya akan lebih menyenangkan saat kita gunakan nanti. Aku juga ingin menyukai apa yang kamu suka."

 

Mendengar kata-kata Mahiru yang mirip dengan apa yang dia ucapkan sebelumnya membuat Amane merasa malu tapi juga senang.

 

"...Iya deh."

 

Dia mengangguk dan Mahiru tersenyum puas lalu berdempetan dengannya.

 

"Ayo lanjutkan mencari barang lainnya... Oke?"

 

"Iya."

 

Amane merasa sangat bahagia bisa berada di samping Mahiru dan dia balas senyuman lembut dari gadis itu.

 

Setelah memilih beberapa piring dan mug untuk sup bersama-sama, Mahiru berhenti di sudut toko yang tidak ada hubungannya dengan peralatan makan.

 

Ini tampak seperti toko peralatan makan tapi ternyata mereka menjual berbagai macam perlengkapan dapur, termasuk alat masak.

 

Mahiru tertarik pada rak display tempat kotak bekal dan botol minum dengan desain menarik dipajang rapi.

 

"Bisakah kita lihat-lihat di sini juga?"

 

"Iya boleh kok tapi kamu kan punya beberapa kotak bekal sendiri? Apa ada yang sudah rusak?"

 

"...Ini untukmu lho."

 

"Untukku?"

 

Amane bingung kenapa tiba-tiba menjadi pembicaraan tentang dirinya sendiri tetapi kemudian Mahiru menjelaskan,

 

"Soalnya kapasitas makan kita beda kan? Meskipun menurutku kamu cukup hemat dalam makan sebagai seorang laki-laki tapi masih lebih banyak daripada aku. Jadi kalau pakai kotak bekal milikku sepertinya kurang cukup. Kalau pakai wadah plastik biasa rasanya kurang afdol gitu loh..."

 

"Oh I see..."

 

Sejak mereka mulai pacaran, Amane sudah bisa makan siang bareng Mahiru dan sering kali mendapatkan bekal dari dia.

 

Pada saat itu mereka menggunakan kotak bekal milik Mahiru. Jika Amane makan siang bersama teman-temannya maka dia akan membawa kotak bekal dua lapis yang berisi lauk dan nasi yang dibungkus terpisah.

 

Amane sendiri tidak terlalu peduli dengan wadah bekalnya, tetapi Mahiru menolak memberikan Amane wadah plastik biasa karena merasa kurang estetis.

 

"Maaf ya udah repotin kamu."

 

"Gak usah khawatir, bukan setiap hari kok. Lagipula sebagian besar masakan itu aku bikin dari bahan yang sudah ada atau sisa makan malam. Jadi nggak terlalu merepotkan deh. Lagipula, Amane kan selalu membantu aku membuat bekal di pagi hari. Aku senang kalau kamu bilang enak, jadi buat aku ini bukan beban."

 

"Terima kasih ya, Mahiru. Setiap hari aku bisa menikmati masakan enak."

 

Amane yang sadar betul dia hidup enak dengan bisa makan bekal dari Mahiru setiap hari merasa sangat berterima kasih pada Mahiru yang menunjukkan kebaikan hatinya melebihi seorang malaikat.

 

"Hehehe, sama-sama deh! Terima kasih juga sudah mau makan masakanku."

 

Meski Mahiru sangat baik hati, Amane merasa bahwa memintanya membuat bekal setiap hari adalah beban yang besar jadi dia tidak pernah memintanya untuk melakukannya.

 

Mahiru memang sering menggunakan sisa makan malam atau masakan yang sudah dibuat sebelumnya sebagai lauk untuk bekalmu tetapi ada beberapa lauk seperti telur gulung dan lauk lainnya yang harus dibuat di pagi hari dan itu artinya Mahiru harus bangun lebih awal.

 

Amane sangat menghargai usaha Mahiru dan merasa bahwa dia harus bersyukur.

 

Sebenarnya Amane merasa bahwa dia haruslah orang yang membuat bekal untuk mereka berdua karena meski Amane ikut membantu dalam pembuatan makan malam tetapi masih saja Mahiru adalah orang yang melakukan sebagian besar pekerjaan jadi rasanya tepat jika Amane-lah orang yang bertugas membuat makan siang mereka.

 

"Gimana kalau besok aku coba bikin?"

 

"Kamu mau coba?"

 

Mahiru tampak terkejut mendengar usulan Amane tersebut.

 

"Oh, kamu khawatir soal kemampuan memasakku? Tenang aja kok, aku bisa!"

 

Amane yakin bahwa Mahiru tahu bahwa dia sudah cukup mahir dalam memasak tapi karena ia tahu bagaimana keadaan Amane di masa lalu maka ia pasti sedikit khawatir.

 

Dia cukup percaya diri dengan kemampuan memasaknya dan berdasarkan reaksi saat ia pernah membuat makanan untuk Mahiru maka ia yakin dapat mencoba membuat bekal juga.

 

"Enggak sih, menurutku kamu udah cukup handal kok. Kamu udah lumayan cepet dan masakanmu juga enak."

 

"Terima kasih!"

 

"Tapi kenapa tiba-tiba kamu mau bikin?"

 

"Ya gitu... rasanya gk adil kalo cuma ninggalin semua kerjaan ke kamu. Lagipula, aku juga pengen bikin bekal buat kamu."

 

Dasarnya Amane merasa bahwa beban yang dihadapi Mahiru cukup berat jadi dia ingin membagi beban tersebut dan membantu sebisa mungkin.

 

Dia tahu bahwa apa yang membuatnya bahagia tidak selalu berarti akan membuat orang lain bahagia juga tetapi jika Mahiru akan senang dengan bekal dari Amane maka dia tentu saja mau membuatkan. Jika bisa menciptakan lingkaran kebahagiaan dengan memberikan dan menerima hal-hal yang membuat mereka bahagia maka dia ingin mencobanya.

 

"Tidak boleh?"

 

"Enggak... aku senang sih... tapi kamu yakin?"

 

"Yakin kenapa?"

 

"...Orang lain bakal lihat lho? Aku kan bakal makan di depan mereka."

 

Jadi, Amane harus mengerti bahwa orang-orang di sekitar mereka pasti akan menilai penampilan bekalan tersebut.

 

"Eh, ya gak papa sih. Kalau ada yang bilang jelek ya sudah, aku yang salah kok."

 

"Kalau sampai ada yang bilang gitu, aku bakal menjaga jarak sama orang itu deh. Paling parah bisa-bisa putus hubungan aja."

 

"Itu gak terlalu ekstrem kah?"

 

"Meski aku gak berniat membuat masakan yang terlihat jelek, kalau Mahiru puas dengan masakanku, itu sudah cukup. Tapi, tampaknya Mahiru merasa kalau aku dihina oleh orang lain."

 

"Soalnya, orang yang tahu kalau kamu udah berusaha keras untuk bikin bekal lalu dengan berani menghina kamu di depanku, aku nggak mau akrab sama mereka. Lagian mereka pasti bakal bilang hal serupa lagi nanti. Yah, sejauh ini sih aku belum pernah akrab sama orang seperti itu."

 

"Memang sih aku juga nggak punya hak buat bicara soal hal ini, tapi hubunganmu dengan orang lain memang terpilih dengan baik ya."

 

"Memang kedengarannya buruk ya kalau dibilang memilih teman-temanmu sendiri. Tapi menurutku kita harus bisa memilih lingkaran pertemanan kita. Aku nggak mau mendekatkan orang yang bisa merugikan diriku atau orang-orang yang penting buatku."

 

"Itu benar sih."

 

Dalam kasus ini 'memilih' berarti memutuskan apakah seseorang akan merugikan dirimu atau tidak.

 

Manusia selalu dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.

 

Jadi apa yang membentuk dirimu adalah lingkungan sekitarmu dan jika ada masalah dalam lingkungan tersebut maka kemungkinan besar kamu juga akan dipengaruhi dan mungkin jadi ikut arah yang salah.

 

"...Tapi Amane-kun, sepertinya kamu udah nggak bikin masakan jelek lagi deh, jadi sepertinya gak bakalan ada yang bilang begitu kok."

 

"Aku berusaha sih tapi..."

 

"Aku tahu betul bahwa Amane-kun sudah menjadi ahli dalam memasak karena selama ini aku melihat perkembanganmu dari sampingmu."

 

Mahiru sangat percaya bahwa Amane bisa membuat makanan enak dan dia merasa hangat mendengar ucapan Mahiru tersebut.

 

"Maka dari itu biarkan aku menunjukkan hasil kerja keras ku!"

 

"Aku tunggu ya?"

 

"Tolong harapannya jangan terlalu tinggi ya"

 

Mahiru memberikan tekanan sedikit kepada Amane dengan senyuman nakalnya dan Amane menjawab sambil menggenggam tangannya lebih erat lagi "Aku harus bekerja keras agar bisa memenuhi harapanmu".

 

"Lalu apa masih ada barang lain yang perlu kita beli?"

 

Setelah mereka berhasil mendapatkan piring dan kotak bekal baru maka tujuan awal mereka telah tercapai dan Mahiru tampak sedikit ragu apakah masih ada barang lain yang perlu dibeli.

 

"Gelas kan kita udah beli kemarin?"

 

"Hmm... mungkin alat makan? Seperti sendok atau garpu?"

 

"Oh iya, sebaiknya kita beli yang sama."

 

Jika mereka sudah membeli piring yang sama maka alat makan juga harusnya serupa agar terasa lebih menyenangkan. Mahiru setuju dengan usulan tersebut.

 

"Tapi sendok dan garpu di rumah kita kan sudah serupa meski desainnya simpel. Jadi sebenarnya kita hanya perlu mencari sumpit yang sama. Sayangnya toko ini gak jual."

 

Karena ini adalah toko peralatan makan Nordik, mereka hanya menjual sumpit dengan desain lucu sebagai bonus dan tidak ada sumpit dengan bahan atau desain yang cocok untuk masakan Jepang.

 

"Kita harus cari di toko lain ya."

 

"Iya nih. Meski sebenarnya kita nggak kekurangan sumpit tapi kalau bisa punya jenis yang sama biar gak repot pas mau pakai."

 

"Kalau nggak disortir dari awal, waktu lagi buru-buru mudah banget salah ambil."

 

Karena merepotkan, saat ini mereka menggunakan berbagai jenis sumpit dari yang berwarna-warni hingga polosan dari kayu jadi tidak ada keseragaman dalam penggunaan sumpit mereka.

 

Seharusnya mereka buang sumpit yang nggak perlu dari awal, tapi karena malas jadi akhirnya mereka terus pakai dan ini bikin repot saat mau ambil. Belum lagi sumpit murah yang udah mulai luntur juga bikin tempat penyimpanannya jadi berantakan.

 

Ini adalah kesempatan bagus untuk memilih barang berkualitas sesuai dengan motto Mahiru, yaitu "gunakan barang yang bagus dalam jangka panjang". Tapi Amane juga tahu kalau untuk hal-hal seperti ini lebih baik belanja di toko khusus.

 

"Kalau mau pilih sumpit, ada toko di mall ini. Mungkin kita bisa cari yang serupa."

 

"Iya nih. Eh tapi tangan Mahiru kecil ya, kalau pakai sumpit sama seperti aku mungkin susah. Jadi kalau beli mendingan ukurannya disesuaikan ya."

 

Amane meremas tangan Mahiru dan mendengar suara protes kecil darinya.

 

Meski desainnya harus serupa, kalau ukurannya sama bisa-bisa salah satu dari mereka susah pakainya. Jadi nggak perlu sampe segitu rupa deh.

 

"Tangan Mahiru kan ukurannya kecil dan imut."

 

"Kamu lagi ngeledek aku ya?"

 

"Nggak kok. Lihat deh, ukuran tanganmu pas banget buat digenggam olehku."

 

Amane melepaskan genggamannya sejenak lalu menggenggam lagi tangan Mahiru dari atas dan tanpa perlawanan apa-apa, telapak tangan Mahiru langsung muat di telapak tangannya.

 

Melihat Amane bergantian melihat tangannya dan wajahnya lalu berbisik "Lihat deh pas banget kan", membuat alis Mahiru berkerut sedikit namun segera hilang setelah Amane memastikan itu.

 

"...Kali ini aku biarkan kamu menipuku."

 

"Makasih udah mau ditipu hehehe... Yuk kita bayar barang-barang ini!"

 

Meski dia tidak suka dipanggil kecil namun jika dipuji dengan kata 'imut' dia bisa menerimanya dengan senang hati. Amane tersenyum diam-diam melihat sikap tersebut lalu mencari arah kasir.

 

Saat mereka hendak menuju kasir, mereka mendengar percakapan sepasang pria wanita yang tampak akrab di dekat mereka.

 

"Ini gimana? Bagus kan?"

 

"Eww... jelek banget sih!"

 

"Hei!"

 

"Bercanda doang kok! Kita bakal tinggal bersama mulai hari ini jadi kita harus pilih barang dengan teliti dong! Ini momen spesial gitu loh."


 


Sepertinya mereka baru mulai tinggal bersama dan sedang memilih peralatan makan sambil bercanda dan tertawa bersama.

 

Mereka berdua tampak sangat antusias, dan percakapan mereka yang hangat membuat Amane merasa hangat juga melihatnya. Mereka tampak sangat bahagia saat memasukkan peralatan makan ke keranjang belanja.

 

Melihat hal itu, Amane berhenti.

 

Eh, tunggu...

 

Apakah kita juga terlihat seperti itu oleh orang lain?

 

Saat dia menyadari hal itu, wajahnya langsung panas seolah-olah ada api yang menyembur keluar dari wajahnya. Dia merasa panas di wajahnya seolah-olah dia sedang dipanggang.

 

Pasangan tersebut tampak tidak memperhatikan keberadaan Amane dan Mahiru dan dengan cepat pindah ke sudut lain toko.

 

"Amane-kun?"

 

Mahiru melihat Amane yang tiba-tiba berhenti dengan khawatir. Dia tidak bisa menatap langsung Mahiru.

 

"...Boleh aku ngomong sesuatu?"

 

"Iya?"

 

"...Ini seperti kita lagi belanja buat hidup bareng ya?"

 

Karena terlalu panas untuk ditahan sendiri, dia mencoba melemparkan rasa panas itu kepada Mahiru. Dia melihat Mahiru di sampingnya mendadak menjadi gugup.

 

Mahiru mengeluarkan suara "do-do-do" karena gemetaran hingga hampir membuat suara musik. Dia menutupi pipinya yang merah dengan satu tangan sambil tetap menggenggam tangan Amane dengan tangan lainnya.

 

Tangan mereka yang masih saling menggenggam membuat rasa panas Amane semakin bertambah.

 

Mahiru yang gemetar dan bertingkah aneh akhirnya melakukan beberapa kali napas dalam-dalam lalu menatap Amane lagi. Matanya berwarna karamel basah seperti akan meneteskan air mata, penuh dengan rasa malu dan kebingungan tapi di balik semua itu ada semacam harapan besar padanya.

 

"...Ma-masi-masi... masih terlalu dini."

 

"I-iya... Masih terlalu dini."

 

Masih terlalu dini...

 

Setelah mengatakan hal tersebut, Mahiru segera menarik tangan Amane untuk menuju kasir sambil mencoba meredam rasa panas dalam dirinya. Sementara itu, Amane mencoba untuk meredam rasa panas dalam dirinya sendiri saat dia dipandu oleh Mahiru menuju kasir.


Previous || Daftar isi || Next

Project LN/WN Saat Ini

Post a Comment

Previous Post Next Post